picture by kalam.ukm.upi.edu |
Cerita Lebaran II
Sebenarnya sedih nulis tentang ini. Tapi rasanya bagian ini pantas dishare.
Supaya tiap ibu berhati-hati dan menyadari bahwa ancaman pada anak nyata
terjadi.
Masih dari momen lebaran.
Seperti tahun – tahun sebelumnya, silah ukhuwah ke rumah guru ngaji menjadi agenda wajib saya saat lebaran. Guru
saya mengkaji Islam banyak. Tak semua bisa dikunjungi. Dengan segala keterbatasan,
hanya sebagian yang dapat saya kunjungi. Ustadzah yang satu ini menyambut saya
dan suami dengan suka cita. Kebetulan sudah ada tiga orang teman yang bertamu sebelum
kami. Mereka belum hendak beranjak pulang saat kami tiba. Secara otomatis kami
mengatur posisi. ustadzah, tiga orang teman dan saya sendiri bergabung di ruang
tengah. Sementara, suami ustadzah dan suami saya beranjak ke ruangan yang
terpisah dari kami.
Lama tak berjumpa kamipun
saling menanyakan kabar, pengalaman selama lebaran dan ngobrol hal-hal ringan
lainnya sembari minum teh manis dan makan kue khas lebaran. Di luar ruangan
terlihat anak bungsu ustadzah yang berumur sekitar 3 tahun, Amam sedang
bermain. Jalan di depan rumah ustadzah cukup besar, cukup ramai dan lumayan
banyak kendaraan yang lalu lalang. Satu dari teman saya bertanya, “Nggak papa tu
mbak, Amam main di situ?” sambil menunjuk ke arah Amam.
“Nggak papa, di sini
lumayan aman.”
Dari satu tema tersebut,
ustadzah bercerita agak panjang. Bahwa di wilayah tersebut tinggal orang –
orang yang masih punya hubungan saudara dengan ustadzah. Ada rumah kakek
neneknya Amam, rumah om dan tante – tantenya. Jadi kalau Amam dan
kakak-kakaknya main, selalu ada yang mengawasi. Ustadzah merasa tenang. Kalau Aliza,
Zahidah dan Amam hendak main dengan anak – anak yang terkenal nakal, tante
ketiganya segera larang. Seperti saat ketiganya mendatangi anak – anak yang
sedang main perkosa-perkosaan, maka tante ketiganya buru-buru melarang untuk
bermain bersama anak-anak tersebut.
Haaa, main perkosa
perkosaan? Sontak saya dan satu teman bertatapan menunjukkan wajah terkejut. Nggak
bisa main yang lain ya? Dari situlah saya tahu tentang adanya anak yang main
perkosa-perkosaan. Gimana cara mainnya, saya nggak tahu karena nggak lihat
langsung. Tapi, dari mana anak-anak berumur sekitar 5 tahunan itu dapat kata
perkosa? Ntahlah. Mungkin dari percakapan orang-orang di sekitar mereka, atau
dari tontonan di TV. Prakteknya tahu nggak mereka? Allahu a’lam. Yang jelas,
kalau tante Aliza, Zahidah dan Amam meralang ketiganya ikut permainan anak-anak
tersebut, berarti permainan itu nggak baik.
Menyadari pemberitaan
yang beredar di sekitar kita, banyak anak – anak yang bukan sekedar bermain dengan
tema hal-hal buruk semacam main perkosa perkosaan, bahkan ada anak-anak yang sungguh
melakukan perbuatan tak senonoh itu. Salah satunya seperti berita di link ini http://www.jpnn.com/read/2011/02/02/83508/Rumitnya-Kasus-5-Anak-Memperkosa-2-Korban-yang-Juga-Anak-Anak-.
Begitu mengancam pengaruh
berbuat buruk kepada anak-anak, sampai-sampai teman sepengajian saya bercerita
bahwa suaminya sangat protektif dengan anak perempuan mereka yang duduk
dibangku kelas 1 SD. Karena takut ancaman keselamatan bagi anaknya, jadi korban
penculikan, jadi korban perkosaan bahkan jadi pelaku perkosaan, mengerikan.
Dalam sistem kehidupan
sekuler yang rusak ini, baiknya kita menjaga anak-anak kita dengan baik, seraya
berjuang mengganti sistem rusak sekuler kapitalisme dengan sistem Islam. Dengan
tata cara hidup yang berasal dari Sang Pencipta manusia Allah Swt, saya yakin
anak kita bisa steril dari pengaruh buruk dalam kehidupan bermasyarakat. Wa ma
taufiqi illa billah
0 Comments
Post a Comment