Monday, April 24, 2017

Kartini Dalam Hidupku

mamak dan nenek

Bulan april mengingatkan kita kembali pada sosok Raden Ajeng Kartini. Beliau dikenal sebagai pejuang pendidikan bagi kaum perempuan. Dulunya, beliau menentang adat jawa yang meminggirkan perempuan dalam memperoleh pendidikan. Spirit perjuangan ibu Kartini terus didengung-dengungkan hingga hari ini dengan berbagai tafsiran. 

Yang paling santer adalah memahami sosok ibu Kartini sebagai pejuang emansipasi wanita agar setara kedudukannya dengan kaum pria dalam hal berkarir. Ketika sejarah sempat menceritakan upaya ibu Kartini untuk mempelajari ajaran Islam, tentu saya tak setuju. Karena peran lelaki dan perempuan dalam Islam sudah jelas, punya fungsi berbeda yang saling melengkapi.

Pendidikan bagi perempuan yang diperjuangkan ibu Kartini bukanlah agar mereka bisa bekerja keluar rumah sebagaimana pria. Melainkan agar perempuan memperoleh haknya mendapat ilmu. Dengan kata lain, agar perempuan bisa menjalani kewajiban dari Allah swt dalam menuntut ilmu. Hingga dengan ilmu, perempuan bisa mengerti fungsi penciptaannya oleh Allah swt dan dapat menjalani perannya dengan benar sesuai Islam.

Pejuang pendidikan, siapa ‘sosok Kartini’ dalam hidup kamu? Sosok paling berharga itu tentu ibu kita sendiri. Mamak saya sama dengan para ibu normal lainnya, ingin anaknya tumbuh lebih baik dibanding dirinya. Menyandang gelar sebagai single parent, memaksa mamak mencari nafkah. Peras keringat banting tulang, mengais rezeki halal agar saya bisa tetap bertahan hidup dan sekolah. 

Meski capek pulang kerja, tapi di malam hari mamak masih sempat mendampingi saya belajar. Saya ingat saat duduk di bangku SD, mamak mengajarkan pada saya cara berhitung ke bawah. Mendampingi pula saat mengerjakan PR. Mamak menghantarkan saya hingga kini menjadi sarjana. Terima kasih mak.

Nenek saya juga berperan mendidik saya. Sejak kecil saya suka didongengi sama nenek. Tentang sangkuriang, malin kundang, sampuraga dan lain sebagainya. Rata-rata tentang anak durhaka. Senang juga mendengarkan sandiwara radio bersama. Sehingga, meski kurang membaca, tapi dari kecil lumayan cukup mendapat berbagai informasi dari nenek. Makasih nek.

            Sosok Kartini lainnya, hadir dalam hidup saya di masa kuliah. Mereka mendidik saya tentang Islam. Mereka mengeluarkan saya dari kegelapan menuju cahaya Islam. Dari mereka saya paham tujuan hidup yang hakiki. Dari mereka saya tahu kesempurnaan Islam. Dari mereka saya mengerti makna kebahagiaan sejati. Dari mereka saya memiliki standar berbuat yang jelas, yaitu baik buruk yang dinilai dari kacamata Islam.

            Sejauh ingatan saya, ada beberapa kalimat yang cukup berkesan dari mereka. Kakak pertama yang memberi kajian pada saya memahamkan saya bagaimana menempatkan rasa malu dengan benar. Saat saya ragu menutup aurat secara benar, beliau sampaikan, “Malu? Malu sama siapa? Sama manusia atau Allah?”

            Kakak pembimbing lainnya membuka wawasan saya, bahwa seorang muslim tak seharusnya enggan berdakwah hanya karena takut menegur orang. Beliau bilang, “Nggak ada dalam kamus seorang pengemban dakwah itu segan negur orang. Yang benar, dia itu lama-lama jadi SKSD (Sok Kenal Sok Dekat).”

            Benar yang beliau sampaikan. Saat kita paham kewajiban berdakwah dan bahwa persaudaraan yang tinggi dihadapan Allah swt adalah atas dasar akidah, kita bakal jadi orang yang supel, ramah, banyak teman. Ya itu tadi, mudah berkenalan dengan orang baru. Sok kenal sok dekat. Cukup tatap matanya, senyum dan sapa. Lalu dakwah bisa lancar berjalan.

Kakak yang lainnya dengan lantang berkata pada saya, “Islam itu untuk dipelajari, diamalkan lalu disampaikan. Rumusnya PAS, Pelajari Amalkan Sampaikan.”

Ada lagi seorang kakak pembimbing yang mengajarkan saya ketegasan dan cara memberi penjelasan yang tepat kepada adik binaan. Beliau mengajarkan saya cara membaca yang benar, mengambil poin penting pada satu paragraf bacaan dengan benar. Mengenai ini, di sekolah memang sudah dipelajari. Tapi entah kenapa, pelajaran bahasa Indonesia di sekolah tak benar-benar bisa saya pahami.

Saya juga tak bisa melupakan begitu saja sosok buk Aisyah, guru di kelas 1 SD. Beliau penuh kesabaran menghadapi kenakalan saya. Tetap tersenyum, mengajar dengan ramah hingga saya merasa nyaman. Guru SMK saya, almarhumah buk Sulastri yang tegas dan tak pilih kasih, yang setiap penjelasannya mudah dimengerti. Beliau juga salah satu guru favorit di sekolah itu. Semoga Allah swt menerima amal kebaikan beliau, amin.

Kartini dalam hidupku, terima kasih atas bimbingan kalian. Semoga balasan terbaik diberikan Allah swt untuk kalian.

0 Comments

Post a Comment